Minggu, 18 Desember 2011

SASTRA

Hujan
“Dari mana Niar? Kenapa jam begini baru pulang?” tanya Mama. “Tokonya Ahong lagi sibuk sekali Ma. Banyak Kol dan Bawang Merah datang dari Selatan, makanya saya terlambat pulang. Lumayan hari ini dapat 10 ribu.” Ujarku bangga. “Pasti kamu belum makan toh? Makan dulu trus tolong Mama angkat semua jemuran di belakang. Sudah sore, pakaiannya Daeng Kebo’
mau ambil sebentar malam, terus, bantu Mama setrika pakaiannya sudang kering. Mama mau cari Aco dulu, tidak tau dia bermain dimana., sampe jam begini belum juga palang.” Kata Mama sambil melap tangan yang berlumuran sabun cuci.
Mamaku adalah seoranng tukang cuci. Dia mencuci pakaian tetangga kami, pakaian istrinya Ahong, dan beberapa orang lagi. Dari situlah kami sekeluarga bisa makan dan sekolah. Pernah suatu hari saya protes pada Mama, atas pekerjaannya sebagai buruh cuci. “Niar, kita ini bekerja apa saja, asalkan halal, dan tidak memakan hak orang lain. Jangan malu” kata Mama.
Kami hanya hidup berempat, Saya, Mama, Aco, dan Nini. Saya masih kelas 6 SD, Aco kelas 4, dan Nini baru berumur 2 tahun. Bapak sudah meninggal 5 bulan lalu, kata tetanga, Bapak meninggal karena shock, akibat kiosnya di Pasar Baru terbakar. Utang menumpuk di Bank, Bapak meminjam uang di Bank sebagai modal usaha. Sebelum modal kembali, kios Bapak terbakar. Rumah yang kami tempati dulu, disita oleh Bank. Mama terpaksa menjadi tukang cuci, saya bekerja sebagai pengupas bawang, menyortil kol, menimbang dan membungkus gula dan terigu serta mengangkat barang di toko Ahong di  pasar. Aco juga bekerja, sebagai penjual es lilin dan kue keliling, kadang sebagai tukang cuci piring paro waktu di warung Misiran Om Mahmud.
Hari sudah sore, saatnya mengangkat jemuran di halaman belakang. Satu-satunya tempat favorit saya. Ada pohon mangga besar, yang bisa ditempati burung sebagai sarang. Seperti sore ini, ada seekor induk burung kecil dan 3 ekor anaknya yang baru saja menetas, bercicit-cicit riang di atas pohom itu. Mungkin, hanya seperti inilah perasaan bahagia yang bisa saya rasakan.
Malam ini hujan deras. Sangat deras. Petir dan angin silih berganti, suasana rumah kami sangat mencemaskan. Dimana-mana bocor, saya khawatir rumah kami bisa-bisa kebanjiran. Nini demam lagi, sudah 2 hari in dia sakit. Kami bukan orang kaya yang bisa dengan mudah membawa anak sakit ke dokter. Nini sudah diberi obat yang dibelikan Mama di warung, tapi panasnya belum juga turun.
“Co, tolong geser sedikit kursi itu, nanti basah kena air hujan. Niar, ambil baskom untuk menadah air hujan.” perintah Mama pada saya dan Aco.
“Sudahlah Ma, saya dan Aco saja yang mengurus rumah, Mama urusin saja Nini, kompres saja badannya, Mama tidak perlu khwatir.” Ujarku menenangkan, padahal dalam hati saya sangat khawatir. Rumah kami hanya terbuat dari papan, atapnya dari rumbia. Tentu saja mudah sekali roboh jika hujan dan angin ini tak kunjung reda. Di rumah ini hanya terdiri dari dua kamar tidur kecil, dapur kecil, kamar mandi dan sumur tempat Mama mencuci serta ruang tamu yang multi fungsi sebagai tempat penyimpanan pakaian yang telah dicuci, sekaligus sebagai tempat menyetrika, tempat saya dan Aco belajar, dan jika malam tiba, kami biasanya menggelar tikar dan menjadikan ruang tamu ini sebagai tempat makan. Disini biasanya Mama bercerita tentang kakek nenek yang kami tidak begitu kami kenal, karena sejak saya masih sangat kecil Bapak dan keluarga kami sudah merantau ke Kendari, meninggalkan tanah kelahiran Mama dan Bapak di Selatan sana. Atau cerita tentang nabi-nabi Allah.
Cerita tentang apa sajalah, yang bisa sedikit menghilangkan beban kami, kesedihan kami, yang bisa menumbuhkan sedikit optimis dikehidupan kami, yang terasa sangat susah sejak Bapak meninggal.
“Niar, demamnya Nini makin tinggi saja, Mama bingung sekali.” Ujar Mama menahan air mata. “Sudah kompreskah? Minum parasetamol lagi Ma,” jawabku sedih. Saya jiga tidak tau harus bagaimana. Sebagian besar rumah kami dipenuhi baskom. Hatiku sangat miris. Tiba-tiba teringat keempat burung yang tinggal di belakang rumah kami. Entah bagaimana nasib mereka sekarang.
“Biar saya yang menemani Nini Ma, biasanya dia mau tidur kalau saya yang temani” ujar Aco tiba-tiba. “Mama istirahat saja” sambungnya lagi.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, hujan turun semakin deras, petir dan kilat menyambar-nyambar. Listrik di rumah kami padam. Aco dan Nini berteriak bersamaan. Nini menangis lagi. Rumah kami makin miring ke kiri, Ya Allah, lindungi kami.
“Dokter di puskesmas bilang, Nini demam karena giginya mau tumbuh. Mama dikasih obat penurun panas dan vitamin gratis untuk Nini. Alhamdulillah. Mama juga ketemu Ibu Lurah diperjalanan menuju puskesmas tadi, katanya rumah kita mau diperbaiki. Dananya dari kas Lurah, katanya ada bantuan untuk kesejahteraan rakyat kurang mampu. Alhamdulillah lagi. Insya Allah kita tidak akan kebocoran lagi. Pagi ini atap kita diperbaiki.” Ujar Mama sambil terisak menahan haru.
“Alhamdulillah ya Ma. Ternyata banyak orang yang sayang sama kita. Aco sudah pergi Ma, katanya dia masuk siang di sekolah, jadi sekarang dia sudah pergi ke warungnya Om Mahmud” ujarku senang. “Kamu tidak sekolah kah? Kenapa belum mandi? Ini sudah jam setengah sembilan.” “Libur Ma, persiapan buat UAS. Kan sudah mulai UAS hari senin.” Ujarku sambil memasukkan pakaian yang sudah kusetrika ke dalam keranjang.
“Oh, kalau begitu tolong bantu Mama jemur pakaian yang sudah Mama cuci. Supaya bisa cepat kering. Jangan lupa belajar, supaya bisa lulus ujian. Jangan kerja terus.” Ucap Mama sambil membelai kepalaku. “Kamu sudah besar Niar, Mama tidak tau bagaimana kalau tidak ada kalian, belajar yang giat nak, biar bisa banggakan Mama.” “Iya Ma, pasti Niar belajar, Niar mau jadi dokter Ma, biar kalau Nini atau Mama sakit, Niar yang obati. Biar Mama tidak kena penyakit shock seperti bapak.” Ujarku tersenyum. “Ma, Niar menjemur dulu, trus mau ke tokonya Ahong, hari ini masuk gula dan terigu.” Kataku sambil mengambil keranjang pakaian basah sari sumur.
Hmmm... semalam ada badai, hujan yang sangat besar. Tapi pagi ini, cuaca cerah sekali. Rumput dan daun juga hijau. Udara juga sangat bersih. Bapak selalu bilang, cuaca seperti ini disebut Simbara dalam bahasa Makassar. Tiba-tiba terdengan suar mencicit riang dari atas pohon magga. Ternyata keluarga burung. Seekor burung kecil dan 3 ekor anaknya yang baru menetas. Mereka juga terlihat segar, padahal tidak tau bagaimana nasib mereka semalam sewaktu hujan dan angin mengganggu bumi.
Jika Allah dapat menolong keluarga burung, Allah juga pasti dapat menolong keluarga kami.**********
    Kendari Pos: 4 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar